Antrean panjang dan perjalanan yang melelahkan membawa dampak besar bagi jemaah haji lansia. Kondisi kesehatan yang tidak prima dapat mempengaruhi kemampuan mereka dalam menjalankan ibadah Haji, khususnya saat melakukan tawaf di sekitar Ka'bah. Namun, bagaimana hukum Islam menanggapi ketidakmampuan fisik ini? Apakah penggunaan kursi roda atau skuter dianggap sah dalam melaksanakan tawaf?
Hukum Tawaf Lansia Menurut Ulama
Berdasarkan penjelasan ulama, tawaf dengan menggunakan kursi roda atau skuter oleh jemaah haji lansia diperbolehkan. Pengecualian ini didasarkan pada analogi tawaf dengan menaiki tunggangan, sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ kepada Ummi Salamah. Hadits ini memberikan landasan hukum yang kuat untuk memahami bahwa penggunaan kursi roda adalah sebuah kemudahan yang diperbolehkan.
Pandangan Madzhab Syafi'i dan Pendapat Lainnya
Madzhab Syafi'i menyatakan bahwa bagi mereka yang melakukan tawaf dengan naik tunggangan tanpa adanya udzur, tidak wajib membayar dam (denda). Hal ini mengacu pada peristiwa Rasulullah ﷺ yang melakukan Thawaf wada' menggunakan unta. Namun, Madzhab Hanafi, Maliki, dan sebagian Hambali berpendapat bahwa berjalan saat tawaf merupakan sebuah kewajiban.
Konsekuensi Hukum Bagi yang Tanpa Udzur
Bagi jemaah haji yang melaksanakan tawaf dengan naik kursi roda tanpa adanya udzur, beberapa madzhab mengharuskannya membayar dam. Pandangan ini ditegaskan dengan mengutip hadits yang menyamakan Thawaf dengan shalat, serta ayat Al-Qur'an yang menegaskan untuk melakukan tawaf di sekitar Baitullah.
Kesimpulan
Penggunaan kursi roda atau skuter oleh jemaah haji lansia dalam melaksanakan tawaf dianggap diperbolehkan menurut hukum Islam. Hal ini merupakan bentuk kemudahan yang diberikan agama untuk memastikan setiap muslim, termasuk yang lanjut usia, dapat melaksanakan ibadah dengan nyaman. Meskipun demikian, bagi yang tanpa udzur, pendapat ulama berbeda, dan konsekuensinya mungkin termasuk membayar dam. Oleh karena itu, pemahaman akan hukum ini perlu diperdalam dengan merujuk pada sumber-sumber kredibel dalam literatur Islam.
Referensi
hadits Riwayat Al-Bukhari
Kitab Al Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Juz 24, Halaman 123-124
Situs Resmi Kementerian Agama Republik Indonesia